Proper : Bentuk Tanggung Jawab Perusahaan Terhadap Lingkungan
Proper – Perkembangan bisnis tidak luput dari perkembangan teknologi yang pertama kali tercetus saat revolusi Industri di eropa pada abad ke 18 silam. Kemunculan teknologi ini mempermudah dan memperingan pekerjaan yang membutuhkan tenaga manusia sehingga hampir setiap orang menginginkan adanya teknologi tersebut untuk operasional bisnis yang dimiliki.
Dalam kehidupan kita, ada hukum alam berupa hukum sebab dan akibat. Dalam hal perkembangan teknologi ini ada akibat yang harus diterima manusia sebagai konsekuensi dari perubahan yang dilakukan untuk mempermudah pekerjaan tersebut. Akibat yang kami maksud adalah rusaknya alam lingkungan sekitar dikarenakan output dari teknologi yang berupa polusi dan limbah sehingga hal ini menimbulkan kritik dari beberapa elemen masyarakat dan memaksa pemerintah mengeluarkan regulasi terkait pengelolaan lingkungan yang disebut dengan Proper.
Sejarah Kelahiran PROPER tidak dapat dilepaskan dari program kali bersih (PROKASIH). Dari PROKASIH, ditarik satu pelajaran penting, bahwa pendekatan pengelolaan lingkungan konvensional “command and control” ternyata tidak dapat mendorong peningkatan kinerja pengelolaan lingkungan perusahaan secara menyeluruh karena sistem kita belum bisa memastikan semua entitas yang diawasi bisa mengikuti perintah dan arahan. Akhirnya muncul lah sebuah program baru yang memasukkan sedikit sisi sosial kita sebagai mahluk sosial dalam hal pengawasan lingkungan (sumber)
Sebagai makhluk sosial, manusia berinteraksi dan memerlukan pengakuan atau reputasi agar eksistensinya diakui. Industri yang tidak beroperasi dengan bertanggung jawab dapat dihukum oleh masyarakat dengan tidak memberikan “izin sosial” bagi industri tersebut. Tanpa izin sosial, industry tidak dapat beroperasi dengan nyaman, bahkan pada tingkat interaksi tertentu, industri harus membayar ongkos yang tinggi untuk menangani ketidakharmonisan hubungan dengan masyarakat.
Waktu, tenaga dan aset yang semestinya digunakan untuk aktivitas yang menghasilkan laba, ternyata harus habis untuk berurusan dengan masalah sosial. Industri sebagai pengejawantahan orang-orang yang ada di dalamnya, akan merasa tidak nyaman kalau teralieniasi dari lingkungan sosialnya.
Sedangkan pasar akan menghukum perusahaan yangmempunyai reputasi jelek di bidang lingkungan dengan mekanisme supply-and-demand-nya. Konsumen yang sadar lingkungan akan memilih produk dan jasa yang ramah lingkungan. Jumlah konsumen jenis ini dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat terhadap perlindungan lingkungan semakin banyak jumlahnya. Industri yang mempunyai reputasi buruk dalam pengelolaan lingkungan akan ditinggalkan pasar.
Jika industry tersebut menjual sahamnya ke publik, maka nilai asetnya akan mengalami depresiasi karena dianggap mempunyai risiko usaha yang tinggi. Risiko akibat kemungkinan membayar kompensasi bagi pencemaran dan kerusakan lingkungan yang diakibatkannya, atau juga membayar proses litigasi yang dihadapinya, atau juga menghadapi tuntutan ganti rugi dari masyarakat yang terkena dampak sangat tinggi. Pemegang saham tidak ingin uangnya habis untuk membiayai masalah tersebut.
Pada tahun 2019 sudah ada 2045 perusahaan yang mengikuti program ini dan pemeringkatan dilakukan setiap tahun sehingga kebutuhan pasar (perusahaan) terhadap tenaga ahli yang paham akan program ini sangatlah besar. Perusahaan bisa saja merekrut tenaga yang belum punya dasar dari program ini lalu mereka didik sampai paham, tapi kami yakin jika ada pilihan lain berupa tenaga yang sudah paham dan bisa diandalkan pastinya perusahaan akan mengambil opsi kedua.